Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia, di atasnya masih ada Amerika Serikat, India, dan China. Dibandingkan ketiga negara tersebut, Indonesia masih belum ada apa-apanya. Amerika Serikat yang merupakan negara superpower, India yang sering berinovasi dalam bidang sains dan teknologi, serta China yang juga unggul di bidang Saintek, dan bahkan produk dari China sudah merajalela di pasar Indonesia.
Sebagian besar masyarakat kita masih menganggap bahwa tujuan
pendidikan hanyalah untuk sekadar mencari kerja. Padahal, pendidikan
memiliki arti yang lebih luas daripada itu. Sejatinya, pendidikan itu
menambahkan pengetahuan dan pemahaman akan suatu hal. Pengetahuan dan
pemahaman yang dimaksud adalah yang mengandung kemampuan penalaran,
bukan hanya menerima suatu hal/doktrin secara cuma-cuma.
Sistem pendidikan Indonesia itu berlebihan. Terlalu banyak mata
pelajaran yang wajib dikuasai, namun tidak terlalu berguna bagi siswa
itu sendiri. Kalau dibandingkan dengan kurikulum International Baccalaureate (IB),
sangat berbeda sekali. Di kurikulum IB, siswa diwajibkan memilih enam
atau tujuh mata pelajaran sesuai minat masing-masing. Misalnya, siswa
yang berkeinginan menjadi arsitek disarankan mengambil mata pelajaran
Fisika Level Tinggi, Matematika Level Tinggi, Teater Level Standar, dan
sebagainya.
Sedangkan di Indonesia, siswa dituntut untuk benar-benar menguasai 14
atau 16 mata pelajaran yang ada di kurikulum nasional. Di Indonesia
juga kental sekali budaya menghafal dibandingkan memahami konsep. Kita
pasti sudah muak terhadap pendidikan yang ‘Indonesia banget’. Dari kecil
kita sudah disuruh menghafal “Pan-ca-si-la. Satu, blablabla. Dua,
blablabla, dst”. Saya bahkan tidak yakin bahwa anak SD berumur delapan
tahun-an mengerti maksud dari kata “esa”, “beradab”, atau
“permusyawaratan rakyat”, tapi mereka dipaksa mengucapkannya berulang
kali setiap hari.
Saya juga pernah bertanya kepada seorang teman, “Eh, kalo bagian sel
yang ini nama serta kegunaannya apa ya?”. Dia menjawab, “Aku gak tau
kalo gak ngehafal dulu.” Terbukti kalau waktu buat menghafal selama ini
itu tidak berguna alias cuma wasting time aja.
Toh, ujung-ujungnya akan lupa juga apa yang sudah dihafalkan. Indonesia
kurang menerapkan berpikir kritis dalam kurikulumnya. You’re studying for nothing.
Pertanyaan yang sering muncul saat Ujian pun mainstream banget.
Contohnya “Kapan Hitler meninggal?”, “Kapan Indonesia merdeka?”, dsb.
Jika dalam kurikulum IB, pertanyaan itu akan berubah menjadi “Mengapa
Hitler meninggal?”, “Apa yang melatar-belakangi kematian Hitler?”, dan
sebagainya. Sudah jelas, konsep berpikir kritis jarang sekali diterapkan
dalam pendidikan kita. Lebih baik, pertanyaan “Apa”, diganti dengan
“Mengapa” atau “Bagaimana” untuk melatih kemampuan berpikir kritis
siswa. Jarang sekali kita diajarkan atau diberitahu mengapa kita belajar
suatu disiplin ilmu. Hal itu menyebabkan sense of wonder kita kurang terpicu dan kita jadi tidak tertarik ke pelajaran itu.
Pada kurikulum IB juga ada Theory of Knowledge (TOK), di mata pelajaran itu siswa diminta untuk presentasi dan menulis essay tentang “what do you know about thing that worth knowing?”.
Itu adalah mata pelajaran yang tidak memiliki jawaban yang benar, tapi
mengajarkan kita untuk berpikir secara kritis. Menurut saya, hal seperti
itu harus ditambahkan di kurikulum nasional kita.
Negara kita juga tidak memiliki visi yang jelas terhadap pendidikan.
Misalnya, lima tahun ke depan apa yang akan kita capai dalam bidang
pendidikan? Sepuluh tahun lagi pendidikan kita akan menjadi seperti apa?
Kalau kita menanyakan hal itu ke Menteri Pendidikan dan Direktorat
Jenderal, pasti akan mendapatkan jawaban yang berbeda.
Berbeda sekali dengan Singapura yang sangat visioner terhadap
pendidikan. Setelah merdeka, Singapura langsung memfokuskan
pendidikannya dengan “menyatukan beragam suku bangsa melalui pendidikan”
atau Survival-Driven Education (1965-1978). Setelah itu berfokus kepada “menyelaraskan pendidikan dengan perkembangan industri” atau Efficiency-Driven Education (1978-1997). Lalu fokusnya berubah lagi yaitu “menyiapkan generasi yang siap untuk menghadapi era informasi” atau Ability-Driven Education (1997-2011). Nah, sekarang ini Singapura berusaha untuk “membentuk masyarakat yang kaya akan nilai” atau Values-Driven Education.
Visi mereka sangat kuat, jangka panjang, dan terstruktur. Hal itu yang
membuat Singapura dapat menjadi negara maju. Walaupun tidak mempunyai
Sumber Daya Alam, SDM-nya sangatlah maju dan cerdas.
Pendidikan kita harus memiliki visi yang jelas. Selain itu, kurikulum pendidikan juga perlu dibenahi lagi. Kita tidak harus copy-paste kurikulum
IB atau kurikulum lainnya. Karena orang Indonesia belum tentu cocok
dengan kurikulum seperti itu. Maka dari itu, Indonesia bisa menciptakan
sistem pendidikannya sendiri yang lebih teratur dan cocok untuk karakter
masyarakat Indonesia. Kita juga mungkin bisa menjadikan negara lain,
seperti Singapura, sebagai panutan atau teladan. Tidak perlu melulu
merevisi kurikulum, yang terpenting adalah siswa-siswi dapat berpikir
kritis dan logis serta memahami konsep suatu disiplin ilmu.
Selain itu, kita juga perlu mengurangi intervensi pemerintah di
bidang pendidikan. Pendidikan bukanlah suatu barang yang dapat
diregulasi menggunakan sistem command and control.
Pemerintah cukup bertugas mengawasi iklim pendidikan agar berjalan
dengan baik dibandingkan dengan mengatur dan mengarahkan bagaimana
pendidikan dapat berjalan. Sistem pendidikan harus dipersonalisasi agar
lebih fleksibel dan sesuai dengan karakter siswa itu sendiri. More critical thinking, less memorizing!